.:: Sekedar prakata ::.

.:: Buku Tamu ::.


Free chat widget @ ShoutMix

.:: Inspirational ::.

.:: network blog ::.

Dec 12, 2009

PostHeaderIcon suatu petang, di kotamu

Hari yang tak biasa itu telah lewat dengan leluasa. Aku membiarkannya begitu saja seperti aku kehilangan hari-hari yang lain yang aku baru sadar bahwa aku kehilangan hari-hari yang tak biasa itu setelah beberapa hari yang lain melewatiku dan tak ada catatan penting yang kutinggalkan diantara hari-hari yang telah melewatiku itu. Hari-hari yang biasa itu seperti sebuah lalu lalang yang melintas di jalan raya dan oranfg-orang yang berpapasan di trotoir. Di trotoir itu pula daun-daun tua berlepasan dari pucuk-pucuk pohon yang berderet, semakin memperteguh, aku baru hirau kini pada sesuatu yang remeh temeh. Orang-orang, Mereka tak menyapa dan aku tak ingin menyapa mereka hanya karena kami tak emmiiliki urusan masing-masimg dan aku memang tak ingin menerima urusan mereka menjadi bagian urusanku yang setiap hari semakin bertumpuk.

Seperti pergantian senja menjadi malam, berangsur tak terasa sampai kita menjadi rabun dan tergantung pada cahaya-cahaya lampu. Aku meyakini kau pun juga mencatat hari itu. Sebuah pertemuan yang tak biasa. Pertemuan yang singat sesingkat usia kupu-kupu. Selepas kau pamit undur ke sebuah negeri yang hilang—sebuah negeri dimana orang-orangnya tak mengenal satu sama lain. Kita sama-sama memiliki kota sendiri-sendiri. Mencatat tiap jengkal jarak dengan pedih karena kehilangan orang-orang yang pernah kita sapa dengan muka tersenyum dan kepalan tangan persahabatan. Kaupun sempat mengatakan sebuah pertanda, bahwa suatu ketika kau tak akan menemukan kembali pohon-pohon akasia yang merimbun di depan rumahmu. Pohon-pohon akasia yang selalu disinggahi burung-burung migran di musim-musim tertentu, yang mengepak-ngepakkan sayapnya dan bersuara seperti memanggil namamu. Lalu kini, saat suara-suara itu hanya melodrama yang hanya dimiliki oleh masa kanakmu kau bersihkukuh bahwa kau masih memilikinya. Seperti artefak yang kau simpan dalam almari kamarmu.

Diantara hari-hari yang terlewat dan kerikil-kerikil yang terhempas setiap musim, aku mencoba mempertahankan dalam kekekalan waktu dimana sebuah ruang masih utuh dengan kau, aku, sofa berlubang dan percakapan yang ringan. Lalu dua gelas marquisa dan sekaleng biskuit itu menemani percakapan kita. Kau hampir tak menyentuh gelas marquisamu sepanjang percakapan itu. Aku menyeruputnya. Pahit benar seperti sebuah percakapan yang bertanda. Aku memulai dengan menanyakan kabar usiamu dan melenyapkan jarak masa laluku dengan masa lalulumu dengan menanyakan hal-hal kecil yang selalu kauingat di masa lalalumu. Kau bercerita tentang seorang laki-laki kecil yang menjadi teman sepermainanmu dengan catatan mengenai benda-benda, tempat-tempat dan kalimat-kalimat yang selalu terngiang.

”Mengalirlah”, katamu, saat kita melintas pada sebuah jembatan dan sungai yang dalam, tenang, kecoklatan dengan aroma limbah kota yang menyengat. Kau tersenyum kesal dengan tangan terkepal seperti ingin mengatakan ’aku benci tempat ini, tapi aku tak bisa berbuat sesuatupun untuk mengusir aroma bacin di kotaku ini’.

”Ya, mengalir saja” Jawabku. Lepas dari topik percakapan di antara kita, dan anak-anak muda yang asyik berfoto di depan bangunan tua, aku mencoba menafsirkan pernyataanmu. Mengalir pada jalan hidup yang kita pilih masing-masing.

Kemanakah muara sungaimu dan kemanakah muara sungaiku? Ya, mungkin tak ada arus sungai yang mempertemukan antara kotaku dan kotamu, tetapi kita sama-sama tahu pasti, setidaknya di lautlah tempat pertemuan terakhir kita

.:: Tentang ::.

.:: Pengikut ::.