.:: Sekedar prakata ::.

.:: Buku Tamu ::.


Free chat widget @ ShoutMix

.:: Inspirational ::.

.:: network blog ::.

Nov 22, 2018

PostHeaderIcon Kubagikan Kembali Diary di Masa Lalu


Wednesday, September 06, 2006, at 2:39am morning

Aku duduk lagi menatap layar monitor 18 inch yang berpendar itu. Membuka-buka privat folder-ku, berkas-berkas dan gambar-gambar yang berada di situ. Kadangkala aku masih merasa takjub dengan tampilan-tampilan icon pada komputer itu. Rasa kantuk mulai memberatkan kedua biji mataku. Ingin copot, tetapi imsomnia sepertinya telah menjadi bagian dari malam-malamku. Ah betapa nikmatnya tidur nyenyak di sebuah ruangan dengan springbed, udara hangat dan perut kenyang! Aku merasakan asam lambung dalam perutku menggerus-gerus seperti makhluk-makhluk kelaparan. Di meja komputer  hanya sisa setengah gelas teh manis. Celakanya, tak ada makanan tersisa di dapur, hanya remah-remah pada bungkus yang berceceran sisa perhelatan sore tadi dan piring-piring kotor. Besok pagi akan ada “perang” besar jikakalau piring-piring itu dibiarkan begitu saja. Seingatku sisa piring bersih tinggal satu! Perempuan-perempuan itu akan bangun lebih pagi dan mulai mengomel tentang kemalasan kaum laki-laki. Kemudian seperti biasa, kami kaum laki-laki merasa “cuek saja”, menutup telinga dengan gumam di dalam hati atau seakan-akan membayangkan orkes pagi yang rutin dan indah.

Dini hari ini aku hanya mengenakan celana pendek dari jeans belel yang kupotong. Seingatku, tiga tahun lampau celana jeans belel yang kupotong itu pernah menjadi celana favoritku. Seberapa lamakah celana jeans belel itu akan bertahan menemaniku? Udara demikian dingin, terasa benar mengalir pada kedua paha kakiku yang tak tertutupi itu. Dua orang temanku telah tidur di meeting room dengan gelaran tikar. Televisi masih berpendaran menyala, lamat-lamat terdengar siaran berita; perang masih berkobar di mana-mana, Israel mulai melanggar gencatan senjata, banjir Lumpur di Sidoarjo, bantuan pemerintah korban gempa yang tidak turun-turun, mayat korban mutilasi, bayi yang berkepala dua, longsor di semarang, balap sepeda di jawa timur, carok madura….. tiba-tiba saja kepala terasa akan meledak.

Dingin kian menusuk, suara-suara mulai melemah, semakin mendekati hening. Hanya desing propeller komputer, tuts-tuts keyboard dan desis televise yang telah habis siaran. Aku melangkah ke meeting room, mematikan kotak televsi yang mendesis itu dengan kesal! Dalam keheningan dini hari ini, suara langkahku terdengar mendegup pada lantai. Dua orang temanku telah tidur dengan nyaman. Mereka memasukkan dirinya dalam buntalan-buntalan selimut. Benar-benar malam yang dingin.

“Hey, mengapa aku belum juga beranjak tidur?”

***
Sudah setahun lebih kami berpisah. Jarak dua kota bermil-mil jauhnya dan keterbatasan aku sebagai seorang laki-laki yang terpenjara pada kota bernama kota Yog sebagai seorang pekerja rendahan.

Feb 15, 2010

PostHeaderIcon Ilusi

Sebagai sang biduan, setidaknya Ia dikenal oleh orang-orang di kampung itu sebagai penyanyi dangdut bertubuh seksi. Ia tahu setiap laki-laki baik yang beristri, apalagi yang masih bujang menginginkannya. Ia mulai terbiasa membedakan sorot mata para lelaki yang dilanda sahwat. Ia bisa merasakan tubuhnya seperti ditelanjangi. Dikelupas dari satu kain ke kain sampai hanya sejengkal kain, kutang dan cawat. Iapun seakan-akan tahu disaat kedatangannya pada tengah malam itu, ia seperti berjalan dengan bersihjingkat. Iapun seperti merasakan bayangan-bayangan yang mengikutinya dengan dari belakang meloncat dari satu sudut remang ke sudut remang yang lain. Tetapi ketika ia mencoba menoleh dengan mendadak, ia tak menemukan sesuatu yang terkejut oleh karena tolehanya yang mendadak. Ia mulai merasakan gerakan jantung juga pembuluh-pembuluh di sekujur tubuhnya.

Di balik benteng dan rerimbun gedung itu aku bisa menemukanmu, mungkin kau tengah menonton televisi, atau tengah bermain catur, makan malam, mengerumpi bersama teman-temanmu atau mungkin tengah buang air kecil di dalam kamar mandi. Di balik rerimbun gedung itu dan sebuah tembok menjulang yang dilapisi kawat berdiri juga pecahan kaca itu mataku tak mungkin buta untuk bisa menembus ke dalamnya, melihatmu tengah melamun di kamarmu. Lalu kubayangkan sepetak ruangan, kamarmu dengan sedikit bahan informasi yang sengaja aku reka-reka dan aku kembangkan menjadi jalinan ilusi; kamarmu serupa sebuah tembok penjara yang selalu kau ajak bicara. Beberapa poster yang menempel bertuliskan ; “Rebel, rebel”

Kemudian pada saat sakit kaupun mengingau. Tubuhmu menjadi sangat panas dan wajah yang pucat seperti polesan lilin. Lidahmu menjadi kelu dan pandangan matamu mendadak melihat hal-hal aneh. Kau tak merasakan migrain di kepala, hanya rasa pening kecil pada bagian tengkuk kepalamu. Saat kau tengah tertidur kau merasakan tubuhmu yang demam itu berputar kemana-mana seakan-akan engkau dan sebuah ruangan tanpa cendela dan sedikit cahaya pada porosnya berputar-putar. Kaupun merasakan telingamu menjadi sangat bising dan lidahmu kelu. Sepertinya sukmamu menjadi sangat ringan dan dapat dengan santainya meninggalkan wadagmu yang tengah meradang. Ya, kapan saja kau bisa mengkhinanati wadagmu yang telah membawamu pergi ke mana-mana pada kenikmatan demi kenikmatan dan puluhan gadis yang pernah kau ajak bercinta.

Lalu akupun mendengar igauanmu yang memilaukan itu di tengah malam yang gelap. Kau melolong dan mengerang-ngerang seakan-akan ada sesuatu tengah mendatangimu dan menyergapmu hingga kau sangat ketakutan. Aku mengerti saat itu kau berusaha terbangun dan membuka matamu sekuat tenaga, tetapi setiap saat wadagmu yang kau bisa saja berkhianat meninggalkannya setiap saat itu tak menginginkan kau mampu membuka mata dan melihat kamar yang tak berputar seperti gasing itu.

***

Ya, pada saat sakitpun dengan sekuat tenaga kau memanggilku. kau mengigau memanggil namaku sampai tujuh kali dan malam yang lengkap dengan gelap dan kesunyian itu begitu jernih menghantarkan suaramu pada angin, pada tibuan reranting yang berdesakan dan kucing yang tengah bersihjingkat pada tepi trotoir. Tapi semua sudah terlambat.

Dec 12, 2009

PostHeaderIcon suatu petang, di kotamu

Hari yang tak biasa itu telah lewat dengan leluasa. Aku membiarkannya begitu saja seperti aku kehilangan hari-hari yang lain yang aku baru sadar bahwa aku kehilangan hari-hari yang tak biasa itu setelah beberapa hari yang lain melewatiku dan tak ada catatan penting yang kutinggalkan diantara hari-hari yang telah melewatiku itu. Hari-hari yang biasa itu seperti sebuah lalu lalang yang melintas di jalan raya dan oranfg-orang yang berpapasan di trotoir. Di trotoir itu pula daun-daun tua berlepasan dari pucuk-pucuk pohon yang berderet, semakin memperteguh, aku baru hirau kini pada sesuatu yang remeh temeh. Orang-orang, Mereka tak menyapa dan aku tak ingin menyapa mereka hanya karena kami tak emmiiliki urusan masing-masimg dan aku memang tak ingin menerima urusan mereka menjadi bagian urusanku yang setiap hari semakin bertumpuk.

Seperti pergantian senja menjadi malam, berangsur tak terasa sampai kita menjadi rabun dan tergantung pada cahaya-cahaya lampu. Aku meyakini kau pun juga mencatat hari itu. Sebuah pertemuan yang tak biasa. Pertemuan yang singat sesingkat usia kupu-kupu. Selepas kau pamit undur ke sebuah negeri yang hilang—sebuah negeri dimana orang-orangnya tak mengenal satu sama lain. Kita sama-sama memiliki kota sendiri-sendiri. Mencatat tiap jengkal jarak dengan pedih karena kehilangan orang-orang yang pernah kita sapa dengan muka tersenyum dan kepalan tangan persahabatan. Kaupun sempat mengatakan sebuah pertanda, bahwa suatu ketika kau tak akan menemukan kembali pohon-pohon akasia yang merimbun di depan rumahmu. Pohon-pohon akasia yang selalu disinggahi burung-burung migran di musim-musim tertentu, yang mengepak-ngepakkan sayapnya dan bersuara seperti memanggil namamu. Lalu kini, saat suara-suara itu hanya melodrama yang hanya dimiliki oleh masa kanakmu kau bersihkukuh bahwa kau masih memilikinya. Seperti artefak yang kau simpan dalam almari kamarmu.

Diantara hari-hari yang terlewat dan kerikil-kerikil yang terhempas setiap musim, aku mencoba mempertahankan dalam kekekalan waktu dimana sebuah ruang masih utuh dengan kau, aku, sofa berlubang dan percakapan yang ringan. Lalu dua gelas marquisa dan sekaleng biskuit itu menemani percakapan kita. Kau hampir tak menyentuh gelas marquisamu sepanjang percakapan itu. Aku menyeruputnya. Pahit benar seperti sebuah percakapan yang bertanda. Aku memulai dengan menanyakan kabar usiamu dan melenyapkan jarak masa laluku dengan masa lalulumu dengan menanyakan hal-hal kecil yang selalu kauingat di masa lalalumu. Kau bercerita tentang seorang laki-laki kecil yang menjadi teman sepermainanmu dengan catatan mengenai benda-benda, tempat-tempat dan kalimat-kalimat yang selalu terngiang.

”Mengalirlah”, katamu, saat kita melintas pada sebuah jembatan dan sungai yang dalam, tenang, kecoklatan dengan aroma limbah kota yang menyengat. Kau tersenyum kesal dengan tangan terkepal seperti ingin mengatakan ’aku benci tempat ini, tapi aku tak bisa berbuat sesuatupun untuk mengusir aroma bacin di kotaku ini’.

”Ya, mengalir saja” Jawabku. Lepas dari topik percakapan di antara kita, dan anak-anak muda yang asyik berfoto di depan bangunan tua, aku mencoba menafsirkan pernyataanmu. Mengalir pada jalan hidup yang kita pilih masing-masing.

Kemanakah muara sungaimu dan kemanakah muara sungaiku? Ya, mungkin tak ada arus sungai yang mempertemukan antara kotaku dan kotamu, tetapi kita sama-sama tahu pasti, setidaknya di lautlah tempat pertemuan terakhir kita

Oct 29, 2009

PostHeaderIcon My Iron Lung

you don't mean it but it hurts like HELL /my brain says I’m receiving pain / a lack of oxygen from my life support /my iron lung…

Sebermula seperti ada ribuan semut yang menggerogoti dada kiri, lalu merembet menuju dada kanan, lalu seluruh dada serasa sesak, panas dan kini telah menjadi sarang jutaan semut itu.

Saat aku batuk dan mengeluarkan riak berdarah, semut-semut itu tak mau juga keluar, hanya seperti berhamburan menyerbu ke lorong-lorong, katup katup dan tiap jengkal labirin dalam paru-paruku.
Sial…. seberapa panjang lagi umurku? Bukan kematian yang kutakutkan, tetapi ada banyak hal belum selesai kucatat dalam lembaran kertas yang kusimpan di laci kerjaku. Tulisan itu masih coret moret.

‘Tak ada kesempurnaan, sempurna itu milik Tuhan, yang diatas’ kata perempuan itu, yang kini tengah duduk tertutup tirai di sebelah ranjang rumahsakit tempat ku berbaring.

Telah 2 minggu, 3 hari aku berbaring di sini. Wajah letih perempuan yang duduk di balik tirai itu, meski tertutup tirai, aku seperti sudah bisa menebaknya,


Seorang dokter cantik memeriksaku. Sedikit melegakan, meski aku tak bisa berfikir untuk sekedar menggodanya lagi. Mana mau seorang dokter muda cantik dengan seorang laki-laki kurus kerempeng dengan paru-paru rusak, batuk-batuk, pucat dengan tiga orang anak dan seorang istri cerewet! Toh, istriku dengan muka letihnya dan seorang anak kembarku menunggu di ruang sebelah.


Rongent dikeluarkan. Sepasang gambar paru-paruku. Tidak kembar. tetapi paru-paru kiri berukuransan lebih kecil, mengkerut. Aku tertawa sambil batuk-batuk lagi dan sebuah cipratan darah lagi di telapak tangan. Bah. untuk mentertawai gambar paru-parukupun terasa sangat sakit. Seperti itukah gambar sarang ribuan semut itu bersembunyi?
Lalu dokter yang cantik muda itu mendekati istriku, mengatakan sesuatu. Aku selalu curiga pada dua orang perempuan yang bercakap-cakap kemudian menjadi akrab, kemudian mereka akan memulai membuka gosip yang seru saban hari tentang tetangga-tetangga mereka, laki-laki di dekat mereka dan mulai melupakan kesibukan yang lain yang lebih penting.


Muka istriku, perempuan dengan wajah letih itu memucat. Aku sudah menduka, apalagi kalau bukan sepasang paru-paruku, sepasang sarang ribuan semut yang menggerogotiku, mungkin lebiih tepatnya kini menjadi sepasang sarang ribuan belatung kecil-kecil yang seidikit demi sedkit menggeogoti, merayap di tiap rongga tubuh dan melahap apa saja dan mebuat selonsong tubuh kurus kering yang suka batuk-batuk yang belum menginjak usia 30 tahun yang belum bisa mengejar mimpinya untuk meneribitkan tulisannya itu akan usai dengan segera. Tapi saya cukup bahagia, seperti empat pasang mata anak kembarku. mereka tidak menangis. Mereka akan baik-baik saja. Setidaknya aku pernah merekam gambarku, catatan catatan perjalananku dalam sebuah laci yang kini menjadi laci milik mereka.

Lalu…. ribuan semut, ah, tapi lebih tepatnya ribuan belatung itu merayap lagi. Membelah diri menjadi ratusan, ribuan dan jutaaan kali. Aku batuk lagi. kini bukan darah lagi. tapi cairan kental hitam.

(in Memorian Salman)
rest in peace sobat, suami dari karibku

Apr 7, 2009

PostHeaderIcon Botol Dalam Pasir

 

Pasir dalam gelas waktu, menghambur dalam plasmaku…. (Asmaradhana, Gunawan Muhammad)

Sudah sejak lama Angie mengoleksi pasir-pasir dari tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. Pasir-pasir itu Angie tempatkan dalam botol-botol kecil. Ia tempelkan label kecil dalam botol-botol pasir itu.

Ini pasir pantai kuta dengan bulir-bulir yang lebih kasar dari memiliki , pasir dari pantai parangtritis, pasir dari pantai karimunjawa,

Ia pandangi deretan botol-botol kecil beraneka ragam dalam rak di kamarnya itu. Botol-botol itu berisi pasir-pasir yang kalau diteliti berbeda-beda baik itu warna maupun karakter bulir-bulirnya. Ada label kecil dengan torehan darimana pasir itu berasal. Pasir pantai anyer, berwarna putih kegelapan dengan dengan bulir-bulir yang kasar, pasir pantai kartini Jepara, pasir parangtritis yang hitam dan lembut, pasir pantai kuta yang paling putih dengan bulir bulir lebih halus, pasir pantai nusa penida yang hitam, pasir pantai ujung gelam di karimunjawa dan masih banyak lagi. Kesemuanya ada sekitar 56 botol kecil.

“Hey, sudah sebanyak itukah pantai-pantai yang kukunjungi”

Ia tercengang sendiri memandang pada deretan botol-botol beraneka ragam pada rak itu. Tak jarang ia ambil satu dua botol dari deretan botol itu, membukanya, meraba dan membauinya lekat-lekat. Kalau sudah begitu, pikirannya akan terbang pada saat dimana ia mengambil pasir itu. Pada orang-orang- yang pernah ia temui disana, jalan-jalan setapak yang menuju kesana, pohon-pohon kelapa, rumpun perdu, kapal-kapal yang tertambat, orang-orang di kampung nelayan, anak-anak kampung nelayan yang bermain-main pada jukung dan aroma laut yang amis.

“Apa gunanya kau kumpulkan pasir itu?

Berkali-kali orang-orang, bahkan suaminya sendiri menanyakan hal itu. Bahkan kalau ia sudah duduk termenung di deretan rak itu dan mengambil salah satu botol, membukanya, menuangkan isinya pada tangan, membauinya lekat-lekat, suaminya itu seakan-akan cemburu.

Berulang kali pula ia menjelaskan alasan koleksi botol-botol pasirnya itu, berkali-kali pula, dulu ibunya, pacarnya dan kemudian suaminya, sepertinya tetap tak memahaminya.

“Konon kalau menyimpan pasir ini, sewaktu-waktu kita pergi ke tempat itu lagi, kita masih akan mengingat tempat-tempat, peristiwa dan orang-orang disana?”

Ia percaya akan hal itu.

“Kamu tidak pernah bercerita soal pasir itu?”

Memang, botol-botol dalam pasir itu adalah susunan cerita. Sebuah portal waktu yang akan membawanya pada kenangan-kenangan manis saat dimana pada suatu ketika ia pernah menjejakkan kakinya disana, bermain-main pasir dan bertemu orang-orang.

***

.:: Tentang ::.

.:: Pengikut ::.